Rabu, April 28, 2010

Hidup Selaras Dengan Alam : 2

Revolusi industri yang terlalu drastis, berjalan dalam waktu singkat, mungkin patut dipersalahkan atas khilafnya manusia membangun selaras dengan alam. Tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi taraf dan standardnya (umumnya diukur berdasarkan taraf & standard kehidupan dan kebijakan orang barat), membuat manusia modern merasa “superior dan arogan” menghadapi alam. Merasa bebas melakukan apa saja yang dia mau dengan hanya memikirkan satu sisi kepentingan saja.
Padahal alam bekerja dengan prinsip keseimbangan. Yang tidak seimbang akan dibuat seimbang olehnya. Dan kekuatan penyeimbang itu maha dahsyat! Sejarah pun mencatat tidak ada kekuatan dan kepandaian manusia yang mampu menahannya!
Terkadang yang kita sebut bencana alam itu tidak sepenuhnya karena kesalahan alam menjalankan kodratnya. Ada juga yang disebabkan karena kecerobohan dan kesembronoan manusia. Seperti contohnya yang terjadi di Indonesia: longsor di segala penjuru bumi Indonesia, banjir di berbagai daerah karena penebangan pohon yang tidak terkendali; petaka situgintung; hilangnya ratusan ribu nyawa di aceh yang sebenarnya bisa dicegah apabila hutan bakau di pinggiran pantainya tidak habis dibabat; karena hutan bakau itu ternyata bisa juga berfungsi untuk menahan kekuatan air yang datang agar tidak sekencang dan secepat itu masuk ke daratan; lalu gempa di padang yang menyebabkan ratusan nyawa hilang karena pembangunan yang tidak sesuai dengan kondisi alamnya dll.
Manusia modern mulai belajar dengan cara yang keras (learn the hard way) bahwa pameo, “manusia penguasa alam” tidak lagi relevan dalam kehidupan manusia yang sebenarnya.
Kesadaran pentingnya untuk mengenali alamnya pun berjalan setengah-setengah di tanah air kita. Akibatnya paronia mulai menghantui penduduk Indonesia dari sabang sampai merauke. Dengan kejadian tsunami di Aceh dan gempa di area Jogja, orang Indonesia “dipaksa” memberi perhatian kepada alam tempat tinggalnya. Mulai mencari tahu, sehingga seperti “tiba-tiba” dihadapkan ke kenyataan mengapa kepulauan Indonesia disebut “Ring of Fire”. Kepulauan yang “ternyata” memiliki banyak gunung vulkanik aktif, yang rawan menimbulkan gempa vulkanik dan letusan gunung berapi. Ada juga beberapa bagian daerah yang rawan gempa tektonik karena tepat berada di atas perbatasan lempengan-lempengan bumi yang terus abadi bergerak.
Kekhilafan untuk tidak mengenali alam tempat kita tinggal mulai membuat nalar dan logika ketinggalan jauh dengan ketakutan yang menghantui. Dan tampaknya itu pun kurang diindahkan oleh pemerintah. Belum ada kegiatan sosialisasi yang berkesinambungan dilakukan mulai dari sekolah dasar. Pentingnya mengenali lingkungan tempat kita tinggal kurang diperhatikan; apakah rawan gempa, banjir, longsor, gunung meletus dll. Langkah preventif apa yang wajib dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban nyawa. Seharusnya dengan adanya otonomi daerah, adalah wajib bagi para pemerintah daerah untuk berkonsolidasi dengan pemerintah pusat menetapkan kebijakan yang sesuai dengan geografi masing-masing daerahnya!
Seperti yang dilakukan di Jepang, pendidikan untuk menyelamatkan diri apabila terjadi gempa sudah dilakukan sejak usia dini. Dan dilakukan terus menerus berkesinambungan tanpa henti karena tingginya kesadaran bahwa mereka hidup di tanah yang tidak stabil dan rawan gempa.
Pembangunan perumahan, gedung-gedung untuk umum pun dilakukan dengan kebijakan yang selaras dengan alamnya. Rumah-rumah kebanyakan tidak bertembok solid, tapi memakai dinding kertas. Gedung-gedung besar dibuat dengan konstruksi yang bisa bergerak menyesuaikan diri dengan gerakan tanah apabila terjadi gempa. Bahkan dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, semakin piawai mereka dalam merancang bangunan yang bisa bergerak konstruksinya walaupun gempa terjadi dalam skala richter yang tinggi.
Kepandaian menyiasati keadaan yang patut kita tiru! Tidak menyerah kepada ketakutan, tapi berusaha keras untuk melakukan perbaikan terus menerus yang membuat manusia Jepang dapat “survive” (bertahan hidup) tinggal di alam yang tidak menguntungkan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi. Tapi bukan berarti tidak bisa berbuat sesuatu dan menyerah kepada ketakutan (give in to fear)!
Itulah superiority ketahanan manusia mempertahankan hidup yang sudah berkali tercatat dalam sejarah manusia! Survival instinct yang mendorong nenek moyang kita pun bisa bermigrasi ke tanah tempat kita hidup saat ini! Mengapa kita manusia modern mudah paranoid dan menyerah kepada ketakutan, padahal sejarah kemanusiaan begitu gemilang di masa lalu? It is what it is! Kenyataan yang harus kita hadapi hidup di tanah gemah ripah low jinawi, namun menghadapi banyak tantangan bencana alam.
Kita pun patut berpaling kembali ke kebijakan nenek moyang kita. Seperti yang terjadi di pulau Simeuleu. Saat tsunami terjadi, penduduk pulau itu tidak ada satupun yang tersapu air. Karena mereka mengingat pesan nenek moyang mereka untuk lari ke dataran tinggi apabila air laut tiba-tiba menyurut ke tengah. Dan terbukti, karena menuruti kebijakan nenek moyangnya, penduduk pulau itu dapat menyelamatkan diri dan hanya kehilangan harta bendanya.
Demikian pula yang terbukti di daerah-daerah yang pernah terlanda gempa, ternyata bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri & memberi kesempatan penghuninya untuk keluar dengan selamat adalah bangunan-bangunan tradisional yang dibangun dengan kebijakan tradisional nenek moyang kita! Di kompas.com sering kali dimuat tentang hal ini.
Mungkin itulah persoalannya. Manusia modern terlalu mengandalkan nalar dan logika tanpa mengindahkan alamnya. Melupakan kebijakan nenek moyang. Padahal tidak semua yang diajarkan nenek moyang kita bersifat tahyul, ketinggalan jaman, picik dan menyulitkan seperti yang dituduhkan manusia modern. Bersikap bijak, berani menghadapi kenyataan akan membuat kita berani menghadapi permasalahan. Dengan menghadapi permasalahan, kita akan terdorong untuk mencari solusi.

0 komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget